Dunia Bergolak – Ketegangan yang semakin panas antara Israel dan sejumlah kelompok militan di Timur Tengah kembali memicu dampak global. Serangan udara yang terus berlanjut, blokade kemanusiaan, hingga meningkatnya jumlah korban sipil, menjadi sorotan internasional. Dunia mengecam, tapi aksi nyata dari para pemimpin dunia masih sebatas pernyataan politik.
Indonesia, yang selama ini vokal soal isu Palestina, juga turut menyuarakan keprihatinan. Namun yang tak bisa dihindari adalah dampak langsungnya terhadap ekonomi domestik, terutama soal harga minyak. Dalam hitungan hari, harga BBM nonsubsidi ikut terkerek. Ketergantungan pada minyak impor menjadikan Indonesia lagi-lagi rentan dalam pusaran konflik global.
Di sisi lain, pelaku usaha di sektor transportasi dan logistik mulai menjerit. Kenaikan biaya operasional hanya akan memperburuk beban masyarakat, terutama menjelang libur panjang. Pemerintah pun terdesak harus memilih: stabilisasi harga atau penghematan fiskal?
Kekacauan Data Pemilih dan KPU Dikepung Kritikan
Masuk ke ranah politik domestik, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tengah dihantam gelombang kritik usai di temukannya data pemilih ganda dan kejanggalan dalam sistem informasi. Tak tanggung-tanggung, dugaan manipulasi data ini mulai membuat publik bertanya: seberapa siap negara ini menyelenggarakan pemilu yang jujur dan adil?
Beredarnya bukti tangkapan layar dari sistem internal KPU yang bocor ke publik menambah kecurigaan. Pakar IT menyebut ada celah keamanan serius yang selama ini di abaikan. Ironisnya, pejabat KPU masih bersikeras bahwa sistem mereka aman dan tidak bisa di retas sembarangan.
Sementara itu, para aktivis pemilu mendesak di bentuknya tim audit independen untuk memverifikasi keabsahan sistem. Wacana untuk kembali ke sistem manual pun mencuat sebagai bentuk protes terhadap digitalisasi yang setengah hati.
Kasus Korupsi Dana Bansos Kembali Meledak
Belum tuntas trauma publik terhadap kasus korupsi bansos pada masa pandemi, kini muncul gelombang baru yang membuat darah mendidih. Investigasi terbaru dari lembaga antikorupsi mengungkap adanya permainan dalam distribusi dana bantuan sosial daerah. Modusnya sama: markup, manipulasi data penerima, hingga pemotongan oleh oknum pejabat lokal.
Di salah satu kabupaten di Jawa Timur, aparat berhasil membongkar jaringan penyelewengan dana bansos hingga miliaran rupiah. Ironisnya, dana tersebut seharusnya di tujukan untuk masyarakat miskin yang terkena dampak inflasi.
Gambaran menyedihkan pun muncul: di satu sisi pejabat hidup bergelimang harta, sementara rakyat makan nasi basi dan lauk seadanya. Bukti video warga yang menangis karena bantuan tak kunjung datang situs slot kamboja, viral di media sosial dan menuai kemarahan publik.
Krisis Pendidikan: Siswa SD Tawuran, Guru Dihukum Karena Disiplin
Pendidikan kembali jadi sorotan. Kali ini bukan karena prestasi, tapi karena absurditas sistem yang mencetak kegagalan. Di sebuah kota besar, video siswa SD tawuran viral dan memancing polemik. Bukan hanya karena usia mereka yang masih belia, tapi karena tanggapan institusi yang membingungkan.
Alih-alih membenahi sistem atau memberikan pendampingan psikologis, pihak sekolah justru menyalahkan guru pembimbing. Seorang guru yang mencoba menerapkan disiplin bahkan di laporkan orang tua murid, dan terancam sanksi administratif. Apakah ini wajah pendidikan kita? Ketika guru tak lagi punya kuasa, dan anak-anak di biarkan liar demi alasan “kebebasan berekspresi”?
Kondisi ini menjadi cerminan betapa sistem pendidikan kita kehilangan arah. Bukan hanya gagal mencetak generasi unggul, tapi juga menciptakan ketidakadilan di dalam ruang kelas. Ketika anak-anak tak lagi takut melawan guru, dan guru tak berani mendidik dengan tegas, maka hancurlah fondasi moral bangsa.
Ekonomi Digital: E-commerce Lokal Digeser Raksasa Asing
Di tengah gempuran produk-produk asing lewat platform digital, e-commerce lokal kian terdesak. Banyak pelaku UMKM yang mengaku omzet mereka menurun drastis akibat membanjirnya barang impor murah. Sementara platform digital besar lebih memilih memberikan panggung untuk seller luar ketimbang memprioritaskan pedagang lokal.
Kementerian Perdagangan memang sempat menggodok aturan pembatasan impor lewat e-commerce, namun implementasinya masih abu-abu. Tak jarang, barang impor tetap lolos dengan label ‘produk lokal’ palsu. Celah ini di manfaatkan oleh oknum importir nakal untuk tetap menguasai pasar.
Sementara itu, pengusaha lokal hanya bisa gigit jari. Protes mereka di tanggapi dingin oleh platform, dan upaya mereka mendesak keadilan kompetisi malah di anggap “tidak siap bersaing”. Pertanyaannya, siapa sebenarnya yang di lindungi dalam era ekonomi digital ini? Rakyat atau investor global?